Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dampak Buruk Pemberian Nilai Terlalu Bagus Kepada Siswa

Pemberian nilai yang terlalu tinggi kepada siswa ternyata bisa menyebabkan beberapa dampak buruk. Silakan baca pemikiran sudra ini hingga akhir agar Anda mempunyai pemahaman yang komprehensif.

Bukti hasil penilaian siswa

Para orang tua murid pasti bangga ketika melihat nilai raport anak mereka sangat bagus. Tidak ada skor 70 dalam raport tersebut. Padahal beberapa tahun yang lalu skor 70 termasuk skor yang baik. Karena pada saat itu skor 60 termasuk kategori cukup. Jadi di daerah ini di sebagian besar sekolah tertentu semua nilai di raport para murid sangat bagus. 

Sekolah tertentu yang dimaksud biasanya adalah sekolah swasta bukan milik pemerintah. Sekolah swasta adalah sekolah yang didirikan oleh sebuah yayasan yang mengelola pendidikan. Lebih khusus sekolah swasta ini biasanya terletak tidak di kota besar. Jika dia tidak terletak di desa kecil, biasanya sekolah ini berada di pinggiran kota.

Ciri khusus dari sekolah swasta yang dimaksud di sini adalah jumlah murid yang belajar di situ sedikit. Sedikit di sini maksudnya jumlah semua siswa 6 kelas adalah sekitar 200 siswa. Enam kelas sudah meliputi semua kelas. Jadi masing-masing tingkat ada dua kelas. 

Misalnya kelas 7 ada 2 kelas 7A dan 7B, kelas 8 ada 2 kelas 8A dan 8B, kelas 9 juga ada dua kelas 9A dan 9B. Jadi sekolah ini hanya mempunyai 6 ruang kelas. 

Penyebab nilai para murid di sekolah-sekolah tersebut sangat bagus 

Penyebabnya adalah kepala sekolah menyuruh agar semua guru memberikan nilai bagus kepada semua murid. Perintah kepala sekolah ini berdasarkan pada kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah tersebut.

Misalnya untuk semua mata pelajaran kriteria ketuntasan minimal paling sedikit 80 maka nilai semua murid untuk semua mata pelajaran paling sedikit juga 80. Apakah ini berbanding lurus dengan kemampuan para murid dalam menguasai pelajaran? Tidak. 

Nilai yang diperoleh para murid dalam sebagian besar tes atau ujian tetap sama saja dalam arti kata sebenarnya rata-rata nilai mereka adalah di bawah 80. Bahkan untuk para murid zaman sekarang sebenarnya kemampuan mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan para murid 10 tahun yang lalu. Ini disebabkan karena semangat belajar para murid di zaman sekarang benar-benar menurun drastis.

Para murid sekarang lebih suka bermain dengan telepon seluler baik itu bermain game atau menggunakan media sosial mereka. Ini bisa dilihat dengan sedikitnya kemampuan para murid dalam hal hafalan, mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dan dalam jumlah tugas yang mereka kumpulkan. Apalagi yang terjadi di sekolah-sekolah seperti yang dimaksud di atas. Sekolah-sekolah tersebut biasanya tidak mempunyai laboratorium dan perpustakaan sesuai standar.

Karena itu sekolah-sekolah tersebut biasanya hanya mendapat kriteria B di dalam penilaian Akreditasi Nasional Lalu kenapa sekolah-sekolah tersebut jumlahnya sangat banyak? Diantara penyebab banyaknya sekolah-sekolah dengan fasilitas minimum tersebut adalah sangat mudahnya perizinan dalam mendirikan sekolah.

Aturan di daerah tersebut menyebutkan sekolah bisa didirikan dengan jarak 3 km dari sekolah yang sudah ada. Sebagai akibat dari banyaknya yayasan yang mendirikan sekolah-sekolah baru maka jarak antar sekolah menjadi sangat dekat. Masalah kemudian timbul ketika masa penerimaan murid baru.

Anda bisa membayangkan jika di daerah A, B, C hanya ada satu sekolah yaitu di daerah A maka sekolah tersebut mendapat murid dari ketiga daerah tersebut yaitu dari daerah A, daerah B dan daerah C. Namun ketika di daerah B yang jaraknya sekitar 3 km didirikan sekolah baru maka murid-murid yang berada di daerah B akan bersekolah di daerah B. Sebagai akibat dari pendirian sekolah di daerah B tersebut maka jumlah murid di sekolah yang berada di daerah A otomatis berkurang. Lalu di daerah C juga ada yayasan yang mendirikan sekolah baru. Anda bisa menghitung sendiri sehingga sekolah A hanya mendapat murid dari daerah A, sekolah B hanya mendapat murid dari daerah B dan sekolah C hanya mendapat murid dari daerah C.

Jika anda bertanya bukankah murid dari sekolah B bisa dan boleh bersekolah di daerah A? Benar, bisa. Tetapi pengelola yayasan dan tokoh-tokoh masyarakat di daerah B tentu akan melarang murid-murid di daerah B untuk bersekolah di daerah A atau daerah C. Sehingga pada masa penerimaan murid baru akan terjadi fenomena rebutan calon murid baru. 

Sebagai akibatnya sekolah-sekolah tersebut menggunakan berbagai cara untuk menarik calon murid agar bersedia bersekolah di sekolah mereka. Sekarang kita kembali kepada pembahasan mengenai nilai dari para murid yang sangat bagus tersebut.

Dampak buruk pemberian nilai terlalu bagus

Apa akibat negatif jika para murid tersebut sebenarnya hanya layak mendapatkan skor 50 tetapi dia mendapatkan skor 80 dalam dokumen resmi penilaian mereka, misalnya raport dan ijazah?

Akibat yang tampak jelas adalah para murid dan para orang tua menjadi sombong. Mereka biasanya mengatakan: "saya tidak pernah belajar tetapi tetap mendapat nilai yang bagus". Atau orang tua mereka mengatakan: "anak saya ketika di rumah tidak pernah belajar tetapi nilainya bagus. Berarti anak saya memang pandai".

Fenomena seperti ini jelas merusak sistem pendidikan, menghancurkan nilai-nilai kejujuran dan membuat para guru tidak mempunyai wibawa di hadapan para murid. Para murid akan bersikap acuh tak acuh ketika guru memberikan pembelajaran di ruang kelas. Para murid akan menyepelekan para guru karena mereka berpikir: "saya tidak perlu disiplin dan tidak perlu mematuhi perintah guru nanti nilai saya di raport akan tetap bagus".

Akibat negatif bagi para guru adalah mereka bosan dan tidak berminat untuk mengajar secara sungguh-sungguh, penuh semangat, inovatif dan menarik. Para guru akan berpikir: "Tidak ada gunanya saya mengajar murid-murid saya ini dengan menerapkan semua teori pembelajaran yang saya pelajari ketika saya kuliah karena para murid saya ini tidak antusias mengikuti proses pembelajaran".

Para guru juga akan putus asa dan stress karena tidak bisa menyadarkan atau bahasa kasarnya mengancam murid dengan mengatakan: "Nanti kalian akan mendapat nilai buruk". Hal ini disebabkan karena para murid memang tidak percaya bahwa mereka akan diberi skor yang buruk oleh guru mereka. Akibat negatif bagi para guru malas adalah ketika mereka merasa malas atau ada keperluan lain maka mereka tidak merasa terbebani ketika tidak memberikan pembelajaran kepada para siswa.

Para guru malas ini pasti berpikir: "Walaupun saya sudah rajin mengajar tetapi nanti skor yang saya berikan tetap tidak sesuai dengan kenyataan. Saya tetap tidak bisa memberikan nilai di bawah kriteria ketuntasan minimal kepada murid-murid tertentu. Saya tetap diharuskan untuk memberikan skor yang bagus pada murid-murid meskipun sebenarnya mereka tidak layak mendapatkan skor tersebut". 

Akibat negatif berikutnya adalah ketika para murid ini sudah lulus dan melanjutkan ke sekolah jenjang lebih tinggi, misalnya dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas. Dengan modal nilai bagus tersebut mereka akan bisa mendaftar dan diterima sebagai murid di sekolah menengah atas dengan kualitas baik.

Kerugian tentu saja diterima oleh Sekolah Menengah Atas tersebut, karena ternyata murid-murid baru yang mereka terima mempunyai kemampuan yang jauh di bawah jumlah skor yang mereka dapatkan. 

Lalu akhirnya banyak pihak yang mengetahui kecurangan-kecurangan ini. Terutama adalah para guru dan kepala sekolah di Sekolah Menengah Atas. Tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena memang sistem penerimaan murid baru berdasarkan jarak daerah sekitar. 

Maksudnya calon murid baru yang rumahnya berada lebih dekat dengan sekolah tersebut maka dia mempunyai kemungkinan lebih besar diterima di sekolah tersebut. Saya ingin mengatakan bahwa kenapa sistem penskoran harus dibuat seperti itu? Kenapa dalam memberikan skor para guru tidak bisa melakukannya seperti para guru sekitar 10 tahun yang lalu? Kenapa sekolah saling bersaing dalam menetapkan kriteria ketuntasan minimal?

Sepertinya para kepala sekolah hanya mengikuti tren yang ada saja. Setelah mengetahui ada sebuah sekolah yang menetapkan kriteria ketuntasan minimal tinggi maka sekolah-sekolah lain juga mengikutinya. Ini dimaksudkan agar prestige dari sekolah-sekolah tersebut juga bagus di mata masyarakat.

Tampaknya mengelola sebuah lembaga pendidikan dianggap seperti mengelola sebuah perusahaan dagang. Para kepala sekolah atau ketua Yayasan harus berjuang keras agar dagangan mereka laku terjual. Dagangan di sini berupa sekolah dan si pembeli adalah para calon murid-murid baru.

Padahal sebenarnya bila para kepala sekolah dan pengelola Yayasan tersebut berani mempertahankan prinsip mereka sendiri yaitu tetap mengetahui kemampuan sekolah dan mengelola lembaga pendidikan mereka dengan jujur maka keadaan tidak akan menjadi sangat buruk seperti sekarang ini. Jika sekolah-sekolah tersebut misalnya tetap mempertahankan kriteria ketuntasan minimal 70 sehingga skor para murid mereka juga tidak terlalu tinggi maka tentu saja pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan akan melakukan suatu tindakan.

Tindakan tersebut bisa dimulai dengan mencari penyebab kenapa skor para murid di sekolah tersebut tidak bisa setinggi sekolah-sekolah lain. Kemudian para kepala sekolah memberikan jawaban yang jujur, penyebabnya adalah ini, itu, maka akan bisa dicari solusi sesuai keadaan yang sebenarnya. Tapi jika hal seperti ini dibiarkan terus berlarut-larut maka ini seperti bom waktu. Suatu saat akan meledak. Dan suatu saat banyak pihak yang akan saling menyalahkan. 

Mungkin mereka tidak menyadari bahwa fenomena seperti ini justru menurunkan kualitas pendidikan di negara atau daerah tersebut. Dalam dokumen-dokumen resmi nilai yang tertulis memang bagus padahal kenyataannya kemampuan para murid jauh di bawah skor yang tertulis tersebut. Ini ibarat sebuah gedung yang tampak megah dan indah dari luar namun ternyata rapuh di dalam.

Negara tersebut tentu akan kalah bersaing dengan negara-negara lain yang sudah menerapkan sistem pendidikan dengan jujur dan sesuai dengan fakta yang ada. Mudah-mudahan cerita ini bisa merubah cara berpikir para pengelola lembaga pendidikan di daerah tersebut.

Post a Comment for "Dampak Buruk Pemberian Nilai Terlalu Bagus Kepada Siswa"